1.Sunan Bonang
Ia anak Sunan
Ampel, yang bererti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden
Makdum Ibrahim. Lahir 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila,
puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah di Kediri, yang majoriti masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian
menetap di Bonang - desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula
sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima
tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya
untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia sering
berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura mahupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat dirampas oleh masyarakat
Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan
Giri yang mudah dalam Feqah, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah
bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu Feqah, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arkitek. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang
sebagai seorang yang pakar mencari
sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan
Bonang berintikan pada falsafah 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta
sama dengan iman, pengetahuan gerak hati (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT
atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara popular melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bantu-membantu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang
banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya
adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya
Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin,
bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga
menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan ilmu keindahan Hindu, dengan
memberi perbezaan baru. Dialah yang menjadi pencipta gamelan Jawa seperti
sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki
perbezaan zikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam
malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang pakar membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
2.Sunan Ampel
Ia putera tertua
Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Salasilah Sunan Kudus, di
masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401
Masehi. Nama Ampel sendiri, dinamakan dengan nama tempat dimana ia lama
bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bahagian
dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi
menyatakan bahawa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibiknya, seorang puteri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama
Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel
menikah dengan puteri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikurniakan beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer
arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya
kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah,
putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.
Di Ampel Denta
yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi centre pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para pelajar
adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para pelajar tersebut kemudian disebarnya
untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel
menganut Feqah mahzab Hanafi. Namun, pada para pelajarnya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah
yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling,
moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum
minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina."
Sunan Ampel telah
wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel,
Surabaya.
3.Sunan
Drajat
Nama kecilnya
Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan
Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada
tahun 1470 M.
Sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog --pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer
ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa
Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran
tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya tempatan. Meskipun demikian, cara penyampaiannya
mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah
"berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada
yang telanjang'.
Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya,
ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
4.Sunan
Giri
Ia memiliki nama
kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan
(kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah
nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya--seorang puteri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden
Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah
Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh kerana
itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah
juga belajar. Ia sempat berkelana ke Melaka dan Pasai. Setelah merasa cukup
ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya
tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam erti sempit, namun
juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon kerana
khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya
untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah
satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan,
Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton
tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden
Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam
Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui
juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton
bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari,
dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada
Abad 18.
Para pelajar
pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan,
ia dikenal kerana pengetahuannya yang luas dalam ilmu Feqah. Orang-orang pun
menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar
biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng
disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung
-lagi berperbezaan Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
5.Sunan
Gunung Jati
Banyak kisah
tidak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah
bahawa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu
bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.
(Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.
Ibunya adalah Nyai Rara Santang, puteri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah
mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan
atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga
dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian,
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Priangan.
Dalam berdakwah,
ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang mudah. Namun ia juga mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Bersama putranya,
Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89
tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah barat.
6.Sunan
Kalijaga
Dialah
"wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir
sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban
-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahawa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada
yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang
menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan
Kalijaga dianggarkan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia
punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. faham
keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran
pada budaya tempatan. Ia berpendapat bahawa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Cara dakwah
tersebut sangat efektif. Sebahagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak
7.Sunan Kudus
Nama kecilnya
Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan
Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahawa Sunan Ngudung adalah salah
seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan
Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus
banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang
kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang majoriti masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,
ia sengaja menambatkan kerbaunyayang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
bererti "sapi betina". Sampai sekarang, sebahagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya
berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga
pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak,
di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
8.Maulana Malik Ibrahim
(Wafat 1419)
Maulana Malik
Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik
Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebahagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di
Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak
adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang
menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10
dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik
Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun
sejak tahun 1379. Ia malah menikahi puteri raja, yang memberinya dua putra.
Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha
alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun
1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi
menyatakan bahawa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya
pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah
kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan
Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktiviti pertama
yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.
Warung itu menyediakan keperluan pokok dengan harga murah. Selain itu secara
khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengubati masyarakat secara
gratis. Sebagai tabib, khabarnya, ia pernah diundang untuk mengubati isteri
raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih
kerabat isterinya.
Kakek Bantal juga
mengajarkan cara-cara baru bercucuk tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta
yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, iaitu mencari
tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama
di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di
kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
9.Sunan Muria
Ia putera Dewi
Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari
tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota
Kudus.
Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeza dengan sang ayah,
Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat
kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercucuk tanam, berdagang dan melaut
adalah kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai peribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara,
Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat
seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Kesimpulan:
"Walisongo"
bererti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung
Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Maulana Malik
Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang bererti juga sepupu
Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan
Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan
Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat
para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di
pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk
peradaban baru: mulai dari kesihatan, bercucuk tanam, niaga, kebudayaan dan
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel
Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari
Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri
dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan.
Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah pencipta karya seni yang
pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah
pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperanan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peranan yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari
Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai
"paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian
dengan menggunakan perbezaan yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
perbezaan Hindu dan Budha.